CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG SEMOK

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG SEMOK


CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG SEMOK, Hasrat-Bispak34 Semuanya orang didalamnya harus bertarung dan berkorban supaya tak tergusur, serta tidak seluruhnya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan kejadian hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang tidak banyak yang mengetahui nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, tetapi maknanya tidak sekedar itu. Denok pun bermakna montok alias sintal, dan ternyata makna itu yang lebih dikenang beberapa orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Zaman kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu-satunya Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Semenjak kecil saya diajari menari oleh Simbok, sebab beliau sendiri waktu muda ialah orang penari, dan sering ditanggap kalaupun ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti saat satu hari saya dan Simbok temukan Bapak menggantung diri. Rupanya Bapak punyai banyak hutang karena sebab hilang ingatan judi, dan beliau tak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang bersedih karena Bapak sudah tak ada, namun juga kebingungan lantaran beberapa waktu sehabis Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah lantaran rumah kami diambil agen judi yang berikan hutang terhadap Bapak. Kami gak punyai tujuan tempat, serta uang simpanan kami tidak berapa. Simbok selanjutnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan. WAJIB 4D


"Denok, kita nggak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat mencoba mencari uang, moga-moga di situ mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya sekedar alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, tidak diterima sebab dipandang pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak penting ijazah, lawan banyak. Selanjutnya sesudah lumayan lama menyimak beberapa peluang yang ada, Simbok memutus untuk memakai keterampilan kami. Dengan modal baju serta perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awalilah kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota lagi persiapan ujian akhir SMA atau menjalankan tahun awal kuliah, serta yang di kampung tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai jalani kehidupan baru, menjual ketrampilan seni tari bersama Simbok. Mulanya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sekedar cari keramaian di mana kami dapat mendapat sekian lembar rupiah buat melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mengkaji jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang ingin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya gak mudah pula cari uang secara seperti berikut, paling-paling yang kami temukan cukup hanya untuk makan kami berdua, satu atau kedua kalinya di hari itu. Serta tidak di seluruhnya tempat kami dapat mendapatkan pemirsa yang mau bayar, kadangkala kami justru ditendang atau dihardik. Sesudah cukuplah lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat selalu bisa pemirsa serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekelilingnya. Kami juga sewa satu kamar sewaan murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, yang datang dari golongan menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat membikin mereka ingat daerah masing-masing. Hadirnya kami dari sana terus disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Biarpun sering helai-lembar itu dikasih ke kami kurang santun misalkan dengan disembunyikan ke busana kami. Apa saya dan Simbok memanglah memikat? Entahlah ya. Saya sendiri tidak berasa elok. Menjadi anak petani yang kerap main di luar sejak mulai kecil, kulit saya jadi rada gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok  sejak dahulu selalu mengarahkan dan memperingatkan saya untuk menjaga badan walaupun dengan simpel, jadi walaupun sawo masak, kulit saya masih mulus serta tak jerawatan apa lagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipikirkan betul  sich bila disebut saya montok. Tak tahu mengapa, meskipun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap tubuh saya bisa-bisa ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya telah tumbuh, dan saat ini jadi subur gumebyur hingga saya selalu cemas dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya pun cepat dikarenakan dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang omong bahenol, saya sich matur nuwun saja jika ada yang menganggapnya demikian. Terherannya, meski atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya bakal jadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, bila Simbok itu benar-benar elok. Hingga sampai usia begitu lantas beliau masih tetap elok. cerpensex.com Ditambah lagi bila sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok dan gak saksikan apapun kembali. Saya sendiri terus berasa buruk lho bila tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia cuman saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Disamping Simbok, beberapa orang yang umum lihat kami menari kok semua omong saya elok. Saya berpikir, ini mah pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu pertama kalinya didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk sangat. Rambut perlu disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, sampai lain warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat makin tebal. Bibir pun diberikan gincu warna merah keren. Saya kala itu ngeluh,


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Perlu kinclong, manglingi. Kita perlu membikin puas yang menonton."


Lambat-laun saya biasa pun memanfaatkan dandanan begitu, jadi saya menjadikan guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis setiap hari terbentuk penganten, sesaat kalaupun nikah betulan perlu seperti apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sesuai sama kemben, kain batik, dan selendang. 


Namun benar-benar yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang mengetahui. 2 bulan kami tinggal di dekat Pasar, tragedi ada kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kritis. Saya cemas, beberapa orang di sekeliling beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok gak terselamatkan. Simbok wafat di rumah sakit seusai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sesungguhnya semenjak ketabrak  Simbok tidak ada angan-angan, namun entahlah mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya hingga sepanjang hari. Hingga tidak sampai hati saya menyaksikannya. Masa itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, karena itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara begitu. Tetapi apa itu betul atau tidak, saya tak mau tahu, biarkanlah itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit serta penyemayaman, justru harus berutang kemanapun. Saya tidak sanggup melangsungkan acara jenis-jenis buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana serta bertemu kembali dengan Bapak. Satu minggu lebih saya di sewa saja lantaran sangat bersusah-hati. Barangkali setiap hari saya menangis, bersusah-hati ingat Simbok,  kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri buat keluar kembali, ngamen kembali, karena uang telah habis serta saya pun harus lawan banyak tukang tagih hutang yang tak ingin tahu kesukaran saya . Maka, satu minggu selepas Simbok disemayamkan, saya kembali persiapan buat keluar, menari. Didepan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya supaya tidak nampak sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, serasi keluar kamar saya malahan bertemu dengan ibu yang miliki sewaan. Sang ibu gak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak mempunyai uang, jadi saya sekedar dapat katakan maaf, serta sang ibu justru ngancam secara lembut. Gak apapun tidak bayar, tukasnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya rintangan untuk saya. Saya ingin usaha dahulu, kata saya, kelak bakal saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG SEMOK

Apesnya, hari itu pasar lumayan sepi, dan sehabis dua jam saya baru bisa Rp5000 setelah menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala sarat dengan pemikiran, bagaimana langkahnya biar kelak kalaupun pulang telah memiliki cukup uang untuk bayar kontrak. Belum hutang-hutang yang lain. Mendekati siang, saya tengah jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan lagi mengalkulasi segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya masa itu cuman mengenal beliau selaku ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua ketimbang Simbok, barangkali umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali 2x saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, serta pegawai-pegawainya berikan kami uang tetapi beliau tidak. Namun beliau pernah pinjamkan uang terhadap Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri hampiri Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di serta berada di belakang. Tokonya lagi sepi, tak ada konsumen. WAJIB 4D


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan memandang saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya tidak kuat bilangnya. Namun saya mesti omong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis buat ongkos penyemayaman Simbok… saat ini saya perlu bayar kontrak dua bulan…"


"Hah?" Juragan lihat saya dengan aneh, "Kamu perlu uang?"


"Tolong, Juragan," saya minta kembali, "Saya telah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang baru saja ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang beri hutang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pula kembali kerja, Juragan," saya geram namun tidak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tidak ingin pinjamkan uang. "Sekedar seramnya saya tidak dapat cukup dapat uang ini hari untuk bayar kontrak. Kalaupun berjualan, saya tidak miliki apapun, harus jual apa?"


Namun terus tatapan Juragan kok beralih menjadi aneh… Beliau dekati saya serta memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang omong kamu gak miliki apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya ingin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya memikirkan apa artinya itu.


"Bila kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar buat bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya perlu uang, tetapi apa perlu dengan secara sesuai ini? Tetapi kalaupun tidak, bagaimana kembali? Yang ada saya bakalan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama dengan. Saya tidak punyai opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali sampai gak terdengaran. Bila saja tidak ketutupan bedak, kemungkinan telah nampak muka saya beralih merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak punyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya terus melihati lantai, tak berani mengangkut kepala, tetapi kadang-kadang saya ngintip ke sana-kemari lihat situasi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang memberikan Juragan dengan orang wanita—istrinya kah? Juragan menggamit tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di tempat tidur. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mengawasi sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari ngomong,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Kemungkinan ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tuturnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, menyaksikan uang itu. Besar sekali untuk saya. Rata-rata sepanjang hari menari saya tak sempat mendapat uang sejumlah itu. Tetapi saya selalu kuatir. Juragan mendadak pengin ambil kembali uang itu.


"Jika tak ingin ya telah," tukasnya dengan suara kurang suka.


Namun saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Serasi tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum menyaksikan saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Buat orang hasrat ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar selesai bicara itu. sumpah, baru ini kali ada lelaki terbuka ngaku semacam itu.


Helai uang lima puluh ribu barusan diletakkan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia berikan ke… aduh! Ia sisipkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," ucapnya. Duh, gak yakin rasanya. Awal kalinya saya serta Simbok harus menari sepanjang hari, hingga pegal-pegal, buat memperoleh duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat duit sejumlah itu … kok ringan sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka segalanya," kata Juragan sembari menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang ngomong itu ke saya… Jantung saya deg-degan mendengarkannya. Juragan menarik kain kemben yang ditahan tangan saya, dan kainnya melesat demikian saja tanpa saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat memperoleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka pun kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena mungkin barusan saya malu dan pelan satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya serta membeberkan kain batik saya. Saya langsung mundur, tetapi tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.


"Gak boleh takut, Denok…" tukasnya.


Juragan  menggenggam paha saya masih yang sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu sebab sentuhan Juragan. Tangannya lalu nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersinggungan dengan kulit paha saya, serta saya tambah deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya selalu nyibak kain saya, hingga ke dekat pinggang… Duh, biyung, tengah diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, sampai paha saya telah dikeluarkan dari balutnya, sedikit kembali kancut saya nampak!


"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya selalu nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa sebaiknya saya lepas pun?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sekalian saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membujur di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, namun tidak tahu mengapa, saya pula kok merasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok berikut jadi? Juragan terus terusan menyaksikan sekujur badan saya, sembari memberikan pujian.


"Marilah donk, tidak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, kalaupun kamu pengin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya nampak.


"Euh… Juragan… pengin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama